Monday, October 28, 2013

Apatis

Sepulang dari Stasiun Tugu (Jogja), saya melintasi Jl. Gejayan sekitar pukul 2.45 dini hari. Dari kejauhan terlihat seseorang tergeletak persis di tengah jalan, tidak jelas apakah itu hanya aksi teatrikal atau korban kecelakaan. Ketika mendekat ternyata betul itu manusia dan tidak ada aksi teatrikal di sana karena jalan itu kebetulan lagi sepi kecuali para penjual dan penikmat Gudeg yang biasa nongkrong di pinggir jalan dan itu pun berjarak sekitar 15 meter dari korban kecelakaan. Setelah mendekat, ternyata ada 2 korban (wanita) kecelakaan tergeletak di tengah jalan, satu di sebelah kanan (menuju ke arah selatan) dan satu lagi yang saya temui di sebelah kiri (ke arah utara). 

Mirisnya, pengendara roda dua dan empat lalu lalang saja di depan korban kecelakaan tersebut, hanya menengok dan kemudian pergi dengan cepat tanpa memperdulikan korban yang terkapar dan terlihat sangat sekarat tersebut. Penikmat gudeg pun tak kalah apatisnya, mereka hanya berdiri dan menengok kemudian kembali ke “piringnya” masing-masing. Setelah menunggu, barulah bersama beberapa anak muda, korban tersebut bisa dibawa ke RS terdekat dan itu pun harus menunggu beberapa menit untuk mencegat kendaraan roda empat yang ketika melihat korban langsung tancap gas. Setelah itu saya mampir ke tempat penjual gudeg di pinggir jalan karena memang saya sangat lapar setelah 8 jam berada di dalam gerbong kereta. 

Sesampainya di penjual gudeg, beberapa orang kemudian menanyakan perihal kecelakaan tersebut. Bingo! Ternyata mereka tahu persis kecelakaan itu, tapi kenapa tidak ada satupun yang tergerak untuk setidaknya mengangkat korban ke pinggir jalan atau mencegat mobil untuk membawa korban ke RS terdekat? Usut punya usut ternyata penyebab pertamanya adalah karena mereka takut diinterogasi dan menjadi saksi kecelakaan tersebut, atau lebih buruknya dituduh menjadi penyebab kecelakaan tersebut. 

Parah bukan? Ketika melihat korban terkapar sekarat, seseorang masih sempat memikirkan kepentingan pribadinya, serta mempertimbangkan untung-ruginya menolong si korban. Mungkin pengalaman ini hanya sedikit dari banyak kejadian yang (hampir) sama di masyarakat kita. Saya bahkan sudah tidak percaya lagi bahwa kita adalah masyarakat yang dikenal sangat mengutamakan kebersamaan dan berbudaya, atau segala macamnya dengan tingkah-laku yang sangat apatis dan bahkan terkesan cynical (hanya peduli pada dirinya sendiri). 

Wednesday, October 9, 2013

Kontemplasi: Bagian Kecil dari Korupsi

Seringkali kita menghujat dan mengutuk para pelaku tindak korupsi, tapi pernahkah kita merenungkan bahwa terkadang (sadar maupun tidak sadar) kita juga menjadi bagian kecil dari korupsi tersebut? Beberapa  minggu yang lalu ketika pulang ke Kalimantan, saya pergi ke salah satu dinas milik pemerintah untuk mengurus beberapa dokumen. Sebelum pergi ke kantor dinas tersebut, abah (ayah) saya menyarankan agar saya menyisihkan uang sedikitnya Rp.20 ribu (dimasukkan kedalam amplop) untuk diberikan kepada petugas nanti sebagai tanda terima kasih & agar urusan saya lancar, ujarnya.

Saya membiarkan saja saran tersebut, dan tidak menyiapkan apapun karena setahu saya mengurus dokumen tersebut sudah sewajarnya menjadi pekerjaan para petugas dan mereka dibayar untuk itu, melayani masyarakat. Sesampainya disana, ratusan orang sudah menunggu untuk mengurus kelengkapan dokumen (kebetulan hari itu bertepatan dengan penerimaan CPNS daerah dan provinsi). Beberapa petugas terlihat duduk di depan, sedangkan para pengunjung dan saya mengisi ratusan kursi di depan mereka bak anak SD yang menunggu giliran dipanggil namanya untuk mengambil rapor. Kebetulan saya duduk bersebelahan dengan seorang kawan lama. Orang-orang pun berlalu lalang di depan saya ketika tiba giliran mereka. Terus terang saya agak risih dengan sikap para petugas di sini yang menganggap wajar canda (yang menurut saya hinaan) yang menyangkut hal pribadi seseorang di depan umum. Ya, tidak beretika! Itulah kesan pertama saya. Belum pernah saya mendengar petugas yang berujar "Aduh ikam lagi, kenapa gantikah status sudah, maka semalam di suratnya belum kawin, wahini sudah kawin, kayamana nyamanlah kawin, nyaman lo? (wah kamu lagi, gimana sudah ganti status ya? kemarin di suratnya belum menikah kan? sekarang sudah menikah. Gimana nikah, enak kan?)" dan ratusan orang di ruangan itu pun sontak tertawa sementara si pemuda hanya bisa "nyengir".

Kembali lagi ke masalah korupsi, dan benar saja ketika urusan mereka sudah beres mereka berjabat tangan dengan si petugas-petugas "nakal" ini dengan amplop-amplop putih ditangannya. Sebuah kotak pun telah dipersiapkan di balik meja untuk menampung amplop-amplop tersebut. Saya pun bertanya kepada teman di sebelah saya perihal tujuan amplop (yang berisi uang tersebut). Jawabannya sudah bisa ditebak untuk biaya "administrasi". "Administrasi apa?" tanya saya. "Biasa. Biar urusannya lancar dan cepat" Jawab teman di sebelah saya. Teman saya pun kemudian menjelaskan panjang lebar, bahwa ternyata uang yang di amplop tersebut bervariasi jumlahnya dari paling sedikit Rp. 20.000-50.000. Dan sudah menjadi kebiasaan orang-orang untuk "sukarela" menyumbang kepada para petugas tersebut. Yap! Giliran saya pun tiba, saya diminta tanda tangan berkas dan kemudian menuju petugas yang sudah menunggu dengan senyum yang menurut saya misterius itu. "Permisi, saya mau mengambil berkas saya, Pak" pinta saya. Petugas tersebut tidak langsung menyerahkan dokumen saya, tapi malah berbasa-basi perihal ini dan itu, sekolah saya, termasuk kebiasaan orang disini. Setelah lama berbasa-basi yang menurut saya tidak penting, akhirnya si petugas pun menyerahkan berkas saya dengan wajah yang "terpaksa" layaknya wajah orang yang susah BAB setelah saya bilang "Kenapa disini harus bayar, Pak? Kalau untuk administrasi saya mau minta bukti pembayarannya". Petugas tersebut hanya diam, dan kemudian menyerahkan berkas saya.

Well, 20 atau 50 ribu memang sedikit jumlahnya, tapi coba jumlahkan berapa uang yang ada di kotak tersebut jika pengunjung yang datang paling sedikit 500 orang/hari, untuk apa uang sebanyak itu? dibagi-bagikan? bukannya itu pungli? (pungutan liar), dan pungli oleh para oknum dari dinas kerja pemerintah juga termasuk korupsi bukan? Seandainya kita menolak, pasti budaya "sumbangan sukarela" tersebut tidak akan terjadi dan mengakar di masyarakat kita. Bukannya, hal tersebut sudah menjadi kewajiban para petugas untuk melayani masyarakat secara sukarela? Dan mereka memang diberikan gajih untuk itu. Saya teringat Pak Dukuh di Jogja yang hanya meminta uang ganti fotocopy Rp. 1000 untuk beberapa surat pengantar yang saya minta. Menurut saya itu wajar, dan jarang sekali orang seperti beliau ini saya temukan di dinas-dinas pemerintah (Kalimantan Tengah) yang katanya orangnya berpendidikan. Sekian.

Saturday, May 25, 2013

Komunikasi Politik 6 Penguasa

Ada 3 hal mendasar yang menjadi tolak ukur pola komunikasi (communication style) politik seorang pemimpin. Pertama, komunikasi politik dipengaruhi oleh "watak" atau bawaan dari pemimpin tersebut. Kedua, bagaimana sang pemimpin menjalankan kekuasaannya (e.g otoriter, demokratis, lamban, tempramental, dan lainnya). Ketiga, pola kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi politik yang terjadi saat itu. 

Tidak dipungkiri bahwa "watak" atau bawaan seseorang dapat mempengaruhi pola komunikasi orang tersebut. Soekarno, misalnya, dikenal sebagai pemimpin yang berwatak keras. Hal ini tidak lepas dari pengalaman-pengalaman hidupnya yang kaya akan getirnya perjuangan sebagai seorang anak muda yang pada waktu itu acap kali keluar-masuk penjara demi tercapainya cita-citanya untuk membangun negara ini menjadi negara bebas dan mandiri. Faktanya, ia menjadi sosok yang ideal pada waktu itu untuk memimpin negara ini. Tidak heran, hal ini pun mempengaruhi pola komunikasinya. Misalnya, ia tahan berjam-jam berpidato tanpa teks dan pidatonya pun mampu membakar semangat orang-orang yang mendengarkan pidatonya. Soekarno juga dikenal sebagai pemipin yang "alergi" terhadap kekuatan barat. Maka jangan heran ketika istilah "antek-antek asing" sering sekali mencuat dari mulutnya pada waktu itu. Sama halnya dengan Soekarno, Soeharto, sebagai presiden kedua Indonesia, juga memiliki watak yang keras. Latar belakangnya sebagai the real soldier membuatnya memiliki pola kepemimpinan yang keras pada saat itu. Secara tidak langsung, hal ini juga mempengaruhi pola komunikasi politiknya yang otoriter.  Sayang, seiring dengan menurunnya pamornya di penghujung 1990-an, kegarangan komunikasi politiknya yang terkenal sangat offensive-pun tidak lagi bergema di negara ini. 

Bagaimana dengan Habibie? latar belakang pendidikannya di Aachen, Jerman, dengan predikat kelulusan Summa Cum Laude serta pengalamannya bekerja cukup lama di salah satu perusahaan penerbangan ternama di negara tersebut dan pengaruh kultur Sulawesinya, membentuk watak aslinya yang sangat demokratis, meletup-letup, dan cepat mengambil keputusan. Namun, terkadang ia enggan dikritik. Kedekatannya dengan presiden Soeharto (pada waktu itu) menempatkannya pada posisi yang dilematis. Di satu sisi ia sangat loyal terhadap "gurunya", namun desakan dari masyarakat luas pada waktu itu sangat deras dan membuat komunikasi politiknya terkadang sangat normatif. 

Sebaliknya, pola komunikasi politik mantan presiden Megawati dan Gusdur sangatlah lemah. Hal ini tentunya tidak lepas dari background keduanya yang amat sangat berpengaruh terhadap pola komunikasi politiknya. Tidak dipungkiri bahwa rekam jejak Megawati didunia politk sangatlah minim walaupun beliau dikenal sebagai ketua umum PDIP perjuangan yang cukup berpengaruh (pada saat itu). Hal lain yang mempengaruhi lemahnya pola komunikasi Megawati adalah latar belakang pendidikannya yang tidak cukup istimewa. Maka jangan heran jika tidak ada yang istimewa dengan pola komunikasi politik beliau. Pola komunikasinya sangatlah normatif, emosional, anti kritik, dan kurang akan gagasan-gagasan baru (less innovative). Hal ini lah yang membuatnya lamban dalam mengambil keputusan. Seringkali, intervensi-intervensi orang-orang terdekat sangat mempengaruhi keputusannya.  Senada dengan hal ini, pola komunikasi Gusdur (K.H Abdurrahman Wahid) juga dikenal kurang efektif karena seringkali masalah-masalah serius tercampur dengan guyonan-guyonannya. 

SBY? secara gamblang kita bisa melihat bahwa "bawaan" beliau adalah ragu-ragu, bimbang, dan sangat hati-hati dalam bertindak. Penulis, melalui narasumber,  mengenal beliau sebagai orang yang sangat hobi membaca buku. Ketika di AKABRI, beliau lebih suka membaca buku sedang teman-teman yang lainnya keluar mencari kesenangan. Hal ini yang mungkin membuat Presiden Soeharto (pada saat itu) tidak pernah memilihnya mengampu jabatan TNI, kecuali jabatan Pangdam Sriwijaya (yang itupun cukup singkat). Sayang sekali pada saat pemerintahannya (hingga kini) ada banyak sekali masalah-masalah serta perpecahan-perpecahan yang terjadi di kalangan masyarakat sehingga membuatnya bertindak harus super hati-hati. Namun terlepas dari faktor kehati-hatian ini, justru sekaranglah negara ini membutuhkan pemimpin yang tegas dalam mengambil keputusan, bukan malah membaca masalah dan kemudian mendiskusikannya dengan para politisi-politisi (baca: kabinet-kabinetnya) yang faktanya berasal dari latar belakang berbeda satu sama lain. Tentunya, kita bisa berasumsi bahwa setiap orang pasti akan mendahulukan kepentingan kelompoknya dibandingkan kepentingan bersama. Jika sudah demikian, mau dibawa kemana negara ini? 

Siapa komunikasi politiknya cukup efektif? jawab, (mantan) Presiden Soeharto, tentunya. Pada masa pemerintahan beliau, situasi politik negeri ini sangatlah stabil (bukan labil seperti sekarang), pembangunan ekonomi cukup sukses dan dalam hal ini wajar jika beliau dikenal dengan "Bapak Pembangunan". Hal ini tak lepas dari komunikasi politik beliau yang tegas dan cepat dalam mengambil keputusan meskipun pada akhirnya hal ini harus dibayar mahal karena blunder yang dilakukannya karena terkait masalah KKN. 

Ringkasan "Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para penguasa" oleh Prof. DR. Tjipta Lesmana, M.A.