Saturday, March 5, 2011

Semiotika Mistis Jogja!

Noth dalam bukunya Handbook of Semiotics mengatakan bahwa istilah semiotik berasal dari bahasa latin yaitu Semeion (tanda). Nah, dari hal ini bisa dikatakan bahwa segala apapun yang ada di dunia ini pasti memiliki arti di balik tanda tersebut.. (hurray, plok..plok..plok). Selain itu, di dalam istilah semiotik ada dua hal yang sangat penting yg kata empunya, Ferdinand De Saussure, kedua hal tersebut adalah merupakan prinsip dasar dari teori semiotic. Kedua hal ini adalah; signifier (penanda) bentuk dan signified (petanda) makna atau arti.

Udah gitu aja kali ye. Ane gak mau jauh-jauh, ribet-ribet ngebahas abis dan mendalam tentang semiotik (bilang aja agan gk tau T,T). Bukan gitu. Ane mau langsung kasi contoh simpel aja deh, yang pasti ada kaitannya dan gak jauh-jauh amat dari semiotik. Contohnya ane ambil dari buku yang judulnya ‘’Urip Mung Mampir Ngguyu karya Dr. Sidik Jatmika M.Si (kok jadi promosi ?huakakak). Katanya beliau sih, kejadian berikut ini pernah di angkat sebagai judul disertasi S-3 bidang Ilmu Hukum (S-3 cuy, ane aja masih pake ijazah SMA.. !) dengan peringkat summa cum laude (ckckckck) yang judulnya “Para Pelaku Anarkis Jogja; secara empiris ternyata lebih menaati aturan hukum yang di terbitkan oleh para penegak hukum ALAM GHAIB daripada upaya law-enforcement melalui perda yang di terbitkan oleh pemerintah dan DPRD di alam dunia nyata ini

Langsung aja yak. Gimana agan-agan ini setuju gak orang Jogja pada susah di atur? (Ups, maaf. Ane sih gk setuju karena gak semuanya). Ya bias iya bisa engga. Contoh simpelnya gini, suatu ketika Kepala Dinas Kebersihan Jogja dibuat pusing karena ulah para oknum yang pipis sembarangan di sepanjang tempat di Malioboro (ckckc, jangan di tiru yak!). Hasil rekaman CCTV yang di pasang tersembunyi di balik tembok pasar Beringharjo menunjukan ada banyak sekali pelaku yang frontalis ini berasal dari kalangan sopir, kondektur bus kota, maupun tukang becak yang semuanya mengandalkan muka tebal alias cuek nempel kayak cicak di sembarang pagar atau tembok buat mengurangi beban kehidupan yang sudah sangat memaksa (baca; pipis..hehe)

Seolah ingin menyukseskan program emansipasi, kaum hawa pun tak mau kalah di buatnya. Sepulang dari pasar Beringharjo, beberapa “Mbo Bakul” pun memanfaatkan fasilitas toilet- portable (wc jinjing) yang menempel di lilitan kain kebayanya. Merekapun tak kalah agresifnya dengan para pria, sama halnya dengan gaya tanpa dosa, cukup mepet di sembarang pojok pagar maupun tembok untuk meringankan tubuh (baca: pipis juga).

Dalam kasus di atas Kepala Dinas Kebersihan kota sudah seakan kehabisan akal bin “stuck” menghadapinya dari mulai cara alus (sosialisasi) bahkan dengan mengeluarkan aturan teruntuk para oknum tersebut. Tapi hasilnya nihil. Memang dasar para oknum tersebut, pada kenyataannya malah seakan melawan atau memberontak terhadap aturan tersebut. Contohnya, ada” warning” yang bunyinya begini DILARANG PIPIS SEMBARANGAN DI SEPANJANG MALIOBORO “Ee.. paginya udah ada gambar tanda panah sekaligus tulisannya yg bilang “DISITU BOLEH KOK KENCING SEMBARANGAN!!!. Tak kalah sadis ada warning yang dengan dongkolnya berbunyi begini “HANYA ANJING YANG KENCING SEMBARANGAN” “Ee.. paginya udah ada lagi gambar manusia dengan tulisan “MANUSIA NGGAK PAPA KOK SILAHKAN KENCING DISINI”

Karena takut kejadian ini akan mempengaruhi program “Visit Jogja” Kadin ini pun kemudian menghadap Sri Sultan untuk meminta saran beliau. Konon, dengan tersenyum simpul sang Sultan pun kemudian memerintahkan Kadin kebersihan kota yang udah dongkol ini meletakkan jembangan berisi tanah liat lengkap berisi air setengah wadah dan aneka bunga yang konon merupakan kegemaran para Dhemit (Baca: Roh Halus) di berbagai pojok yang berbau pesing tersebut.

Walhasil, sejak saat itu tidak ada lagi satu oknum pun yang berani pipis sembarangan di Malioboro. Lho kok bisa?? Menurut sumber yang gk bisa di percaya, para oknum tersebut sudah tidak berani lagi pipis di sembarang tempat di Malioboro. Entah dipaksa atau tidak, menurut mereka, mereka sudah sangat ngeri ketika mencium bau bunga dan menyan yang berasal dari jembangan tersebut. Mereka membayangkan akibat buruk yang akan terjadi jika mereka masih tetap nekad mengencingi benda-benda kramat tersebut. Yaitu, kemungkinan terjadinya kerusakan sparepart atau onderdil yang ada kaitannya dengan sarana-prasarana yang melekat pada tubuhnya yang juga tentunya berkaitan dengan aktivitas pipis sembarangan tersebut…

Nah, itulah ulasan singkat tentang contoh sederhana yang terjadi pada masyarakat Jogja. Kembali ke istilah “Semiotik.” Itulah kenapa ane lebih gampang menjelasakan dengan bercerita.

Jembangan, bunga, menyan, de el el.. tersebut bisa jadi memiliki makna yang sangat sakral bagi para oknum-oknum tersebut (yang mungkin kita tidak mengerti) sehingga mereka tidak lagi berani melakukan sifat brutalnya. Jembangan, bunga, & menyan tersebut juga mungkin menjadi sebuah simbol yang memiliki makna di balik hal-hal tersebut. Inilah yang di maksud Ferdinand sebagai signifier (penanda) dan signified (petanda). Jembangan, menyan, dan bunga merupakan signifier (penanda) dan arti di balik hal tersebut atau larangan aturan yang ada pada benda tersebut adalah signified (petanda).


Happy Reading
Source: Urip Mung Mampir Ngguyu.
Rewrite by: Fendi

No comments: