Ada 3 hal mendasar yang menjadi tolak ukur pola komunikasi (communication style) politik seorang pemimpin. Pertama, komunikasi politik dipengaruhi oleh "watak" atau bawaan dari pemimpin tersebut. Kedua, bagaimana sang pemimpin menjalankan kekuasaannya (e.g otoriter, demokratis, lamban, tempramental, dan lainnya). Ketiga, pola kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi politik yang terjadi saat itu.

Bagaimana dengan Habibie? latar belakang pendidikannya di Aachen, Jerman, dengan predikat kelulusan Summa Cum Laude serta pengalamannya bekerja cukup lama di salah satu perusahaan penerbangan ternama di negara tersebut dan pengaruh kultur Sulawesinya, membentuk watak aslinya yang sangat demokratis, meletup-letup, dan cepat mengambil keputusan. Namun, terkadang ia enggan dikritik. Kedekatannya dengan presiden Soeharto (pada waktu itu) menempatkannya pada posisi yang dilematis. Di satu sisi ia sangat loyal terhadap "gurunya", namun desakan dari masyarakat luas pada waktu itu sangat deras dan membuat komunikasi politiknya terkadang sangat normatif.
Sebaliknya, pola komunikasi politik mantan presiden Megawati dan Gusdur sangatlah lemah. Hal ini tentunya tidak lepas dari background keduanya yang amat sangat berpengaruh terhadap pola komunikasi politiknya. Tidak dipungkiri bahwa rekam jejak Megawati didunia politk sangatlah minim walaupun beliau dikenal sebagai ketua umum PDIP perjuangan yang cukup berpengaruh (pada saat itu). Hal lain yang mempengaruhi lemahnya pola komunikasi Megawati adalah latar belakang pendidikannya yang tidak cukup istimewa. Maka jangan heran jika tidak ada yang istimewa dengan pola komunikasi politik beliau. Pola komunikasinya sangatlah normatif, emosional, anti kritik, dan kurang akan gagasan-gagasan baru (less innovative). Hal ini lah yang membuatnya lamban dalam mengambil keputusan. Seringkali, intervensi-intervensi orang-orang terdekat sangat mempengaruhi keputusannya. Senada dengan hal ini, pola komunikasi Gusdur (K.H Abdurrahman Wahid) juga dikenal kurang efektif karena seringkali masalah-masalah serius tercampur dengan guyonan-guyonannya.
SBY? secara gamblang kita bisa melihat bahwa "bawaan" beliau adalah ragu-ragu, bimbang, dan sangat hati-hati dalam bertindak. Penulis, melalui narasumber, mengenal beliau sebagai orang yang sangat hobi membaca buku. Ketika di AKABRI, beliau lebih suka membaca buku sedang teman-teman yang lainnya keluar mencari kesenangan. Hal ini yang mungkin membuat Presiden Soeharto (pada saat itu) tidak pernah memilihnya mengampu jabatan TNI, kecuali jabatan Pangdam Sriwijaya (yang itupun cukup singkat). Sayang sekali pada saat pemerintahannya (hingga kini) ada banyak sekali masalah-masalah serta perpecahan-perpecahan yang terjadi di kalangan masyarakat sehingga membuatnya bertindak harus super hati-hati. Namun terlepas dari faktor kehati-hatian ini, justru sekaranglah negara ini membutuhkan pemimpin yang tegas dalam mengambil keputusan, bukan malah membaca masalah dan kemudian mendiskusikannya dengan para politisi-politisi (baca: kabinet-kabinetnya) yang faktanya berasal dari latar belakang berbeda satu sama lain. Tentunya, kita bisa berasumsi bahwa setiap orang pasti akan mendahulukan kepentingan kelompoknya dibandingkan kepentingan bersama. Jika sudah demikian, mau dibawa kemana negara ini?
Siapa komunikasi politiknya cukup efektif? jawab, (mantan) Presiden Soeharto, tentunya. Pada masa pemerintahan beliau, situasi politik negeri ini sangatlah stabil (bukan labil seperti sekarang), pembangunan ekonomi cukup sukses dan dalam hal ini wajar jika beliau dikenal dengan "Bapak Pembangunan". Hal ini tak lepas dari komunikasi politik beliau yang tegas dan cepat dalam mengambil keputusan meskipun pada akhirnya hal ini harus dibayar mahal karena blunder yang dilakukannya karena terkait masalah KKN.
Ringkasan "Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para penguasa" oleh Prof. DR. Tjipta Lesmana, M.A.