Saturday, May 25, 2013

Komunikasi Politik 6 Penguasa

Ada 3 hal mendasar yang menjadi tolak ukur pola komunikasi (communication style) politik seorang pemimpin. Pertama, komunikasi politik dipengaruhi oleh "watak" atau bawaan dari pemimpin tersebut. Kedua, bagaimana sang pemimpin menjalankan kekuasaannya (e.g otoriter, demokratis, lamban, tempramental, dan lainnya). Ketiga, pola kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi politik yang terjadi saat itu. 

Tidak dipungkiri bahwa "watak" atau bawaan seseorang dapat mempengaruhi pola komunikasi orang tersebut. Soekarno, misalnya, dikenal sebagai pemimpin yang berwatak keras. Hal ini tidak lepas dari pengalaman-pengalaman hidupnya yang kaya akan getirnya perjuangan sebagai seorang anak muda yang pada waktu itu acap kali keluar-masuk penjara demi tercapainya cita-citanya untuk membangun negara ini menjadi negara bebas dan mandiri. Faktanya, ia menjadi sosok yang ideal pada waktu itu untuk memimpin negara ini. Tidak heran, hal ini pun mempengaruhi pola komunikasinya. Misalnya, ia tahan berjam-jam berpidato tanpa teks dan pidatonya pun mampu membakar semangat orang-orang yang mendengarkan pidatonya. Soekarno juga dikenal sebagai pemipin yang "alergi" terhadap kekuatan barat. Maka jangan heran ketika istilah "antek-antek asing" sering sekali mencuat dari mulutnya pada waktu itu. Sama halnya dengan Soekarno, Soeharto, sebagai presiden kedua Indonesia, juga memiliki watak yang keras. Latar belakangnya sebagai the real soldier membuatnya memiliki pola kepemimpinan yang keras pada saat itu. Secara tidak langsung, hal ini juga mempengaruhi pola komunikasi politiknya yang otoriter.  Sayang, seiring dengan menurunnya pamornya di penghujung 1990-an, kegarangan komunikasi politiknya yang terkenal sangat offensive-pun tidak lagi bergema di negara ini. 

Bagaimana dengan Habibie? latar belakang pendidikannya di Aachen, Jerman, dengan predikat kelulusan Summa Cum Laude serta pengalamannya bekerja cukup lama di salah satu perusahaan penerbangan ternama di negara tersebut dan pengaruh kultur Sulawesinya, membentuk watak aslinya yang sangat demokratis, meletup-letup, dan cepat mengambil keputusan. Namun, terkadang ia enggan dikritik. Kedekatannya dengan presiden Soeharto (pada waktu itu) menempatkannya pada posisi yang dilematis. Di satu sisi ia sangat loyal terhadap "gurunya", namun desakan dari masyarakat luas pada waktu itu sangat deras dan membuat komunikasi politiknya terkadang sangat normatif. 

Sebaliknya, pola komunikasi politik mantan presiden Megawati dan Gusdur sangatlah lemah. Hal ini tentunya tidak lepas dari background keduanya yang amat sangat berpengaruh terhadap pola komunikasi politiknya. Tidak dipungkiri bahwa rekam jejak Megawati didunia politk sangatlah minim walaupun beliau dikenal sebagai ketua umum PDIP perjuangan yang cukup berpengaruh (pada saat itu). Hal lain yang mempengaruhi lemahnya pola komunikasi Megawati adalah latar belakang pendidikannya yang tidak cukup istimewa. Maka jangan heran jika tidak ada yang istimewa dengan pola komunikasi politik beliau. Pola komunikasinya sangatlah normatif, emosional, anti kritik, dan kurang akan gagasan-gagasan baru (less innovative). Hal ini lah yang membuatnya lamban dalam mengambil keputusan. Seringkali, intervensi-intervensi orang-orang terdekat sangat mempengaruhi keputusannya.  Senada dengan hal ini, pola komunikasi Gusdur (K.H Abdurrahman Wahid) juga dikenal kurang efektif karena seringkali masalah-masalah serius tercampur dengan guyonan-guyonannya. 

SBY? secara gamblang kita bisa melihat bahwa "bawaan" beliau adalah ragu-ragu, bimbang, dan sangat hati-hati dalam bertindak. Penulis, melalui narasumber,  mengenal beliau sebagai orang yang sangat hobi membaca buku. Ketika di AKABRI, beliau lebih suka membaca buku sedang teman-teman yang lainnya keluar mencari kesenangan. Hal ini yang mungkin membuat Presiden Soeharto (pada saat itu) tidak pernah memilihnya mengampu jabatan TNI, kecuali jabatan Pangdam Sriwijaya (yang itupun cukup singkat). Sayang sekali pada saat pemerintahannya (hingga kini) ada banyak sekali masalah-masalah serta perpecahan-perpecahan yang terjadi di kalangan masyarakat sehingga membuatnya bertindak harus super hati-hati. Namun terlepas dari faktor kehati-hatian ini, justru sekaranglah negara ini membutuhkan pemimpin yang tegas dalam mengambil keputusan, bukan malah membaca masalah dan kemudian mendiskusikannya dengan para politisi-politisi (baca: kabinet-kabinetnya) yang faktanya berasal dari latar belakang berbeda satu sama lain. Tentunya, kita bisa berasumsi bahwa setiap orang pasti akan mendahulukan kepentingan kelompoknya dibandingkan kepentingan bersama. Jika sudah demikian, mau dibawa kemana negara ini? 

Siapa komunikasi politiknya cukup efektif? jawab, (mantan) Presiden Soeharto, tentunya. Pada masa pemerintahan beliau, situasi politik negeri ini sangatlah stabil (bukan labil seperti sekarang), pembangunan ekonomi cukup sukses dan dalam hal ini wajar jika beliau dikenal dengan "Bapak Pembangunan". Hal ini tak lepas dari komunikasi politik beliau yang tegas dan cepat dalam mengambil keputusan meskipun pada akhirnya hal ini harus dibayar mahal karena blunder yang dilakukannya karena terkait masalah KKN. 

Ringkasan "Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para penguasa" oleh Prof. DR. Tjipta Lesmana, M.A.